Patokan Waktu Kereta tak Pernah Ingkar Janji
LOKOMOTIF
kereta api yang pernah populer dengan sebutan "Si Gombar", saat bersiap
meninggalkan Stasiun KA Garut, pertengahan 1984. Layanan jasa kereta
api Garut-Cibatu dihentikan, menyusul akhir...
Akan tetapi, lakon kereta api di Garut tak sempat menembus kawasan selatan. Agaknya, kenyataan itu bukan menepis cerita angin surga dari kalangan leluhur. Tak lain, karena kesaksian alm. M. Endang mantan petugas DKA menuturkan, bahwa sebenarnya tahun 1945 pemerintah pernah merancang penyambungan rel KA, dari stasiun Cikajang ke Pameungpeuk Garut. Upaya memanjangkan rel KA sejauh 50 km itu terhenti, karena benturan teknis.
Kebutuhan bentangan rel, terbenteng dinding Pegunungan Batu Tumpang di Cikajang. Alur jembatan KA pun harus banyak mengangkangi kedalaman lembah yang sangat curam. 49 tahun kemudian, angin segar kembali bertiup. 18 Maret 1994, saat Dr. Haryanto Dhanutirto menjabat Menteri Perhubungan RI, mengungkapkan bahwa pemerintah bersiap membangun lagi perkeretaapian di Garut.
Menurut Menhub selepas berziarah ke makam keluarganya di Cisurupan, pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan survei untuk meneliti kelayakan kondisi jalur rel kereta api, dari Cibatu hingga Cikajang sejauh 50 km. Uniknya, sebelum itu terumbar kabar ganjil, tentang keretakan dinding Pegunungan Batu Tumpang, yang dianggap bukan pekerjaan manusia. Banyak orang memaknai itu sebagai isyarat akan terwujudnya jalan kereta api ke pesisir selatan Garut.
Kenyataan lain berpaling dari rancangan. Upaya mengembalikan kejayaan KA Garut justru memanjangkan obsesi lama. Puluhan tahun sudah, legenda lok Si Gombar tak berdaya lagi membelah keramaian Kota Garut. Segenap lapisan warga Garut kehilangan. Terlebih, karena kereta yang melintas lima kali dalam sehari itu, mengental sebagai patokan waktu. Oleh karena itu, warga Garut pernah tersentak, saat suatu sore KA muncul menarik gerbong tangki.
Berulang kali terjadi, kehadiran kereta api dengan rangkaian gerbong tangki. Terkabar, Perumka kembali mengoperasikan KA Cibatu-Garut, hanya untuk memasok BBM ke PTG (Pabrik Tenun Garut). Namun, kemitraan Perumka dengan pabrik tenun legendaris Garut itu tak berlangsung lama, karena dinilai tidak saling menguntungkan. Kondisi seperti itu pula yang terjadi pada tahun 1955, ketika KA Garut menjajaki layanan jasa trayek ke Bandung.
Jelang penghentian operasi KA, lengkingan ”Si Gombar” tak lagi nyaring. Gemuruh lokomotif bertenaga uap itu, bagai helaan napas ketuaan yang harus tersenggal-senggal. Kondisi lokomotif KA sakit-sakitan. Laju kereta tak bisa lagi berpacu dengan waktu. ”Raksasa Hitam” bergelar ”Si Gombar” itu pun ambruk. Bahkan, orang mampu mengejar laju kereta yang bertolak dari Halte Wanaraja ke arah Halte Cinunuk, menyusuri rentang jarak 1 kilometer.
Tentu saja, karena kereta api bergerak lamban dengan sisa tenaga masa lampau. Acap kali pula terjadi, kereta mundur lagi ke jalanan datar, sebelum merangkak melintasi tanjakan tajam memanjang di kawasan Cikajang. Citra KA di Garut lalu memburam. Memang ”Si Gombar” pernah berganti wajah lokomotif diesel. Akan tetapi, kereta modern itu tak bisa melumat beratnya tanjakan rel di celah lahan berbukit itu. (Dok. Pariwisata, "PR"; 16/4/11)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar